1000 Cahaya

Ranting Muhammadiyah Gunungpring jadi teladan gerakan hijau berbasis sekolah dan komunitas, sukses kurangi sampah 50% lewat sistem kantin ramah lingkungan.

Di tengah hiruk-pikuk tantangan krisis iklim global, harapan itu muncul dari tempat yang tak disangka: sebuah ranting kecil Muhammadiyah di lereng Merapi, tepatnya di Gunungpring, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang. 

Sejak 2017, Ranting Muhammadiyah Gunungpring tidak hanya menjadi pusat pendidikan dan dakwah, tetapi juga laboratorium hidup dari integrasi lingkungan, sosial, dan nilai-nilai Islam yang membumi. Semua terangkum dalam satu sistem yang disebut “manajemen satu atap”.

Ranting ini membawahi berbagai Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), mulai dari PAUD hingga SMA, jasa transportasi, layanan katering, hingga gerai ritel. Tetapi yang membuatnya istimewa bukan sekadar jumlah lembaganya, melainkan bagaimana seluruh sistem ini bergerak harmonis dalam satu komando, dan menjadikan keberlanjutan sebagai napas utama.

 

Sekolah Tanpa Uang Jajan, Sampah Berkurang Setengah

Di SD Muhammadiyah Gunungpring, anak-anak tidak diperkenankan membawa uang jajan. Sebuah aturan yang terdengar kaku di zaman sekarang, tetapi justru menyimpan filosofi yang dalam. Sebagai gantinya, sekolah menyediakan kantin dengan sistem deposit uang jajan. Para orang tua menitipkan dana, dan siswa cukup menyebut nama untuk menikmati jajanan sehat yang telah diseleksi.

Hasilnya bukan hanya pengendalian konsumsi makanan anak, tetapi juga dampak nyata terhadap lingkungan. Produksi sampah di sekolah ini tercatat menurun hingga 50 persen sejak kebijakan itu diberlakukan. Tidak ada lagi plastik sekali pakai berserakan, tidak ada kemasan jajanan yang dibuang sembarangan. Semua tertata, semua terkendali.

“Konsep ini bukan hanya soal disiplin, tapi juga bentuk edukasi tentang tanggung jawab. Anak-anak belajar bahwa makanan bukan hanya soal rasa, tapi juga dampaknya bagi lingkungan,” kata salah satu pengelola sekolah kepada redaksi 1000Cahaya.com.

 

Sekolah Menyatu dengan Alam dan Warga

Komitmen pada keberlanjutan tidak berhenti di kantin sekolah. Secara arsitektural, bangunan sekolah di bawah naungan Ranting Gunungpring dirancang untuk menyatu dengan alam. 

Pohon-pohon tua yang telah tumbuh puluhan tahun tidak ditebang begitu saja. Justru ruang-ruang kelas dan fasilitas sekolah dibangun mengelilingi pepohonan, menciptakan suasana belajar yang asri, teduh, dan inspiratif.

Lebih dari itu, interaksi sosial juga dijaga. Di SD Muhammadiyah, beberapa rumah warga tetap berdiri di tengah kompleks sekolah. Anak-anak bermain di halaman yang sama, saling menyapa dengan warga yang menggantung pakaian atau menjemur hasil tani. Tidak ada tembok tinggi yang memisahkan pendidikan dan kehidupan nyata. Justru keberadaan warga menjadi bagian dari proses pendidikan sosial.

“Ini adalah sekolah yang tidak hanya mengajarkan sains, tapi juga bagaimana menjadi manusia,” ujar seorang guru SD Muhammadiyah Gunungpring yang ikut merancang tata ruang bersama warga.

 

Menjawab Tantangan Ruang dengan Inovasi

Terbatasnya lahan tidak menjadi alasan untuk berhenti menghijau. Di sinilah inovasi lahir. Sekolah dan pengelola ranting mulai menerapkan konsep vertical garden dan bioverticulture, yaitu metode bercocok tanam vertikal dengan memperhatikan estetika dan etika ruang. Dinding-dinding sekolah yang sebelumnya kosong kini dipenuhi tanaman hijau, memberi kesegaran visual sekaligus fungsi ekologis.

Dengan pendekatan ini, bahkan ruang sempit bisa menjadi produktif. Di sisi lain, para siswa juga diajak terlibat langsung dalam perawatannya. Mereka diajarkan menanam, menyiram, dan memanen hasilnya secara bergantian. Pendidikan lingkungan menjadi sesuatu yang konkret, bukan hanya dalam buku teks.

 

Menjadi Inspirasi Gerakan Nasional

Apa yang dilakukan Ranting Muhammadiyah Gunungpring menjadi salah satu praktik baik yang diangkat dalam Program 1000 Cahaya, inisiatif transisi energi dan perubahan iklim yang digerakkan oleh Muhammadiyah secara nasional. Program ini menempatkan ranting-ranting seperti Gunungpring sebagai pionir perubahan dari bawah. Bukan sekadar konsep, tapi aksi nyata.

“Gunungpring menunjukkan bahwa perubahan dimulai dari komitmen dan keberanian untuk berbeda. Sekolah bisa menjadi pusat perubahan, dan ranting bisa menjadi cahaya,” tulis laporan 1000 Cahaya (2024).

Di tengah krisis ekologi dan moral global, kisah dari Gunungpring mengingatkan kita bahwa harapan masih menyala—dari tempat-tempat kecil, dari tangan-tangan yang sabar, dari komunitas yang memilih untuk tidak menyerah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *